Sidang Perdana Kasus Kematian Brigadir Nurhadi Ungkap Peran Dua Kompol Yogi dan Ipda Haris

Sidang Perdana Kasus Kematian Brigadir Nurhadi Ungkap Peran Kompol Yogi dan Ipda Haris

Redaksi23.com.NTB – Dalam sidang perdana yang digelar hari ini, Senin (27/10) di Pengadilan Negeri Mataram, tim jaksa penuntut umum memaparkan peran dua perwira Polda NTB, yaitu Kompol Yogi dan Ipda Haris Chandra dalam kasus kematian Brigadir Nurhadi yang terjadi di sebuah penginapan di kawasan wisata Gili Trawangan, Nusa Tenggara Barat.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Dalam dakwaan yang dibacakan oleh jaksa Budi Muklish, terungkap detail kronologis hingga tindakan yang dilakukan kedua perwira tersebut dan kondisi korban sebelum meninggal dunia.
Menurut dakwaan, aksi penganiayaan terhadap korban diawali oleh Ipda Aris. Saat itu, Aris yang menginap di lokasi berbeda menerima telepon video melalui aplikasi WhatsApp dari seorang anggota perwira di Polda NTB, bernama M. Rayendra Rizqillah Abadi.

Rayendra kemudian menunjukkan video kepada Aris yang memperlihatkan korban dalam posisi memancing perhatian. Aris kemudian mendatangi lokasi penginapan tertutup, di mana Kompol Yogi bersama seorang perempuan bernama Misri berada di kamar yang bersebelahan dengan kolam kecil.

Setibanya di tempat itu sekitar pukul 19.59 WITA, Aris menemukan Kompol Yogi yang sedang berbaring sambil mengoperasikan handphone, sedangkan Misri berada di pinggir kolam dan korban masih di dalam kolam.

Dalam kondisi tersebut, Aris menyebut kepada Kompol Yogi: “Coba lihat ndan! Nurhadi masih berenang!” sebagaimana dikutip dari dakwaan. Selanjutnya korban menyapa Rayendra melalui telepon video dan menanyakan “Ndan? Tidak ke sini ndan?” yang dibalas oleh Rayendra bahwa ia sedang piket.

Setelah telepon ditutup, Aris mendatangi korban dan menegur tingkah laku korban yang dinilai tidak sopan, sambil melakukan pemukulan keras di muka korban sebanyak sekitar empat kali dengan tangan terkepal satu jari mengenakan cincin hingga menimbulkan luka. Korban sempat menyampaikan “Siap salah komandan!” sebelum Aris pergi meninggalkannya tanpa menyuruh kembali ke tempat penginapan awal.

Tak lama kemudian, sekitar pukul 20.30 WITA, Kompol Yogi bangun dari tidurnya dalam keadaan masih di bawah pengaruh alkohol serta obat-obatan termasuk ekstasi dan obat penenang merek Riklona.

Yogi kemudian melihat korban masih berada di kolam bersama Misri dan langsung marah karena merasa diremehkan. Yogi kemudian memiting korban dengan tangan kanannya di pangkal leher dan menggenggam tangan kanan korban dengan tangan kiri, menindih punggung korban dari atas tubuhnya serta mengunci kaki korban dengan kaki Yogi.

Posisi yang terkunci tersebut membuat korban kesulitan melepaskan diri, dan ia kemudian mengalami luka lecet di lutut, punggung, kaki kanan, serta patah tulang lidah dan patah leher sebagai luka antemortem yang kemudian berkontribusi terhadap kematian korban.

Setelah korban melemah dan kehilangan kesadaran, Yogi melepaskan kuncian dan mendorong tubuh korban hingga tenggelam ke dalam kolam. Yogi kemudian duduk di kursi dekat kolam sambil merokok.

Karena korban tidak muncul ke permukaan, Yogi akhirnya melompat ke dalam kolam dan berusaha mengangkat korban dari dasar kolam, membaringkannya di tepi kolam, dan memberikan pertolongan. Namun upaya itu gagal menyadarkan korban. Atas permintaan Misri, Yogi menghubungi Aris untuk datang membantu. Korban kemudian dilarikan ke sebuah klinik kesehatan di kawasan Gili Trawangan, namun nyawa korban tidak tertolong dan dinyatakan meninggal dunia.

Dakwaan yang disampaikan jaksa menyebut bahwa Aris dan Yogi dikenakan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dan/atau Pasal 354 ayat (2) KUHP tentang penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian dan/atau Pasal 351 ayat (3) KUHP tentang penganiayaan yang mengakibatkan kematian dan/atau Pasal 221 KUHP tentang obstruction of justice juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Kasus ini telah menarik perhatian publik luas karena melibatkan oknum aparat penegak hukum dan terjadi di lokasi pariwisata populer, sehingga menimbulkan sorotan atas integritas institusi kepolisian serta kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum.

Sebelumnya, otopsi menyebutkan adanya keretakan tulang hyoid yang konsisten dengan tindakan strangulasi. Pihak Polda NTB bersama institusi terkait telah menyatakan akan membuka proses penyidikan dan transparansi atas kasus tersebut.

Sebagai tambahan, pengamat penegakan hukum menyebut bahwa kasus ini dapat menjadi ujian bagi ‎Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam membuktikan bahwa tidak ada pelindungan istimewa terhadap oknum berpangkat tinggi dan bahwa setiap tindakan pelanggaran di dalam institusi diberantas sesuai prosedur. Dengan agenda persidangan yang tengah berlangsung, publik menunggu hasil yang adil dan tuntas, sekaligus rencana reformasi internal agar tragedi serupa tidak kembali terjadi.

Back To Top