Redaksi23.com.NTB –Dalam perkembangan mengejutkan, Kejaksaan Negeri Mataram (Kejari Mataram) secara resmi telah mengembalikan berkas perkara milik tersangka R dalam kasus dugaan pembunuhan Brigadir Esco Faska Rely kepada penyidik Polres Lombok Barat.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Proses pengembalian tersebut diumumkan pada Selasa (21/10/2025) oleh Kepala Seksi Intelijen Kejari Mataram, Muhammad Harun Al‑Rasyid, yang enggan merinci secara terbuka kapan tepatnya pemulangan berkas tersebut dilakukan.
“Berkas perkara (milik tersangka R) kini masih di penyidik. Pengembalian kemarin disertai petunjuk-petunjuk dari jaksa,” ungkap Harun. (21/10/2025)
Meskipun demikian, Harun menolak menguraikan detail petunjuk yang disertakan jaksa dalam pengembalian berkas tersebut – hanya menegaskan bahwa seluruh petunjuk wajib dipenuhi oleh penyidik karena menyangkut keyakinan jaksa dalam proses pembuktian di persidangan.
“Tanya penyidik isi (petunjuk) apa saja,” kata Harun.
Penundaan pengungkapan isi petunjuk tersebut memunculkan spekulasi bahwa jaksa menemukan kekurangan serius dalam berkas penyidikan. Apakah ini akan menimbulkan rekonstruksi ulang di lapangan? Harun menyebut hal tersebut bisa muncul, tergantung kebutuhan penyidikan:
“Mereka (polisi) ekspose dulu kebutuhannya, ke arah sana atau tidak (rekonstruksi kedua). Kalau sudah yakin, tidak perlu. Tergantung kebutuhan.”
Sementara itu, dalam lingkup yang tersinggung etika kepolisian, penanganan dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh tersangka R di Bidang Propam Polda NTB terus berjalan. Kepala Bidang Humas Polda NTB, Mohammad Kholid, menyebut bahwa proses masih berada pada tahap pemeriksaan awal—sidang etik terhadap R belum digelar.
“Propam Polda NTB masih melengkapi pemeriksaan. Hasil pemeriksaan nanti akan kami sampaikan,” ujar Kholid.
Fakta lain yang mengejutkan: pada Kamis (16/10/2025), Polres Lombok Barat telah menetapkan empat tersangka baru dalam kasus yang sama—berinisial HS, P, DR, dan HN—semuanya beralamat di Dusun Nyur Lembang, lokasi yang sama dengan tersangka R.
Keempatnya dikenakan pasal pengulangan berat: Pasal 340 KUHP jo. pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, atau Pasal 56 ayat (1) KUHP, atau Pasal 338 KUHP junto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan pasal 56 ayat (1) KUHP, atau Pasal 221 KUHP.
Sementara itu, tersangka R menghadapi tuduhan sebagai “otak” atau pelaku utama, dengan pasal yang diterapkan: Pasal 44 ayat (3) UU No. 23/2024 tentang PKDRT dan/atau Pasal 340 KUHP dan/atau Pasal 338 KUHP.
Kondisi ini menunjukkan eskalasi serius: bukan hanya penambahan tersangka, tetapi juga pengembalian berkas kasus utama ke pihak penyidik, yang bisa menjadi sinyal bahwa penyidikan belum cukup matang atau jaksa meminta penguatan bukti.
Hal ini tentu mengguncang publik, mengingat beratnya tuduhan pembunuhan dan potensi implikasi hukum dan etik yang melingkupi aparat kepolisian.
Masyarakat di NTB kini menanti dengan cemas apakah penyidikan akan segera berjalan lancar atau justru mengalami hambatan.
Ada kekhawatiran bahwa rekonstruksi kedua atau pemeriksaan lanjutan bisa memakan waktu lamayang pada akhirnya mempengaruhi kepercayaan publik terhadap penegakan hukum.
Di sisi lain, kehadiran empat tersangka baru menunjukkan bahwa kasus ini semakin diperlebar ruangnya tidak hanya terhadap pelaku utama, tetapi juga terhadap mereka yang “membantu” dalam pelaksanaan.
Bila dikaitkan dengan pengembalian berkas utama, maka kemungkinan besar jaksa menginginkan koordinasi yang lebih solid antara penyidik dan tim penuntut umum dalam merampungkan bukti dan saksi sebelum tahap persidangan.
Tentu saja, langkah penegakan etik oleh Propam Polda NTB menjadi sorotan tersendiri. Apabila terbukti ada penyalahgunaan wewenang oleh aparat, maka bukan hanya pidana umum yang menjadi konsekuensi, tetapi juga sanksi administratif dan etik yang bisa meruntuhkan karier seseorang dalam tubuh kepolisian.
Penundaan sidang etik ini menimbulkan tanda tanya publik: apakah pemeriksaan akan berjalan transparan atau justru akan memakan waktu panjang dengan hasil yang tak pasti.
Dengan demikian, kombinasi antara pengembalian berkas, perluasan jumlah tersangka, dan proses etik yang belum rampung membentuk skenario yang kompleks yang bisa memunculkan krisis kepercayaan di masyarakat terhadap proses hukum di NTB, atau justru menjadi titik pembuktian bahwa institusi penegakan hukum bekerja dengan serius hingga ke pangkal akar.
Lebih lanjut, publik dan media akan terus memantau apakah rekonstruksi kedua akan dilakukan, sejauh mana petunjuk jaksa kepada penyidik akan diungkap ke publik, serta bagaimana proses sidang etik di tubuh kepolisian akan berjalan. Semua ini bukan hanya soal satu korban, melainkan soal sistem dan keadilan yang diuji di lapangan.
