Redaksi23.com.NTB —Dua bulan lebih pasca kematian Brigadir Esco Faska Rely, publik masih menanti kejelasan penuh dari proses hukum yang ditangani Polres Lombok Barat (Lobar), Nusa Tenggara Barat (NTB).
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Meski polisi telah menetapkan lima orang tersangka, termasuk sang istri Briptu RS, gelombang pertanyaan terus mengalir tentang transparansi dan kecepatan penanganan kasus yang menimpa sesama anggota kepolisian tersebut.
Kasus ini bermula pada 19 Agustus 2025, saat Brigadir Esco dilaporkan hilang oleh keluarga. Setelah pencarian intensif, jasadnya ditemukan pada 24 Agustus 2025 di belakang rumahnya, Dusun Nyiur Lembang, Desa Jembatan Gantung, Kecamatan Lembar, dalam kondisi mengenaskan: leher terjerat tali nilon biru di sebuah pohon.
Hasil visum et repertum menunjukkan adanya tanda kekerasan, yang menegaskan bahwa korban tidak bunuh diri, melainkan dibunuh. Namun publik menilai pihak kepolisian terlalu lama menegaskan status kasus sebagai pembunuhan, bahkan sempat terkesan menutup-nutupi temuan awal.
Pernyataan resmi baru disampaikan beberapa minggu setelahnya, dan itu pun masih bersifat umum tanpa menyentuh motif maupun kronologi lengkap.
Baca Juga : Masalah Uang, Polwan Riska Diduga Otak Pembunuhan Brigadir Esco Dibantu Ayah – Adik Tiri
Setelah hampir satu bulan sejak penemuan jenazah, baru pada 19 September 2025, Polres Lombok Barat menetapkan Briptu RS—istri korban—sebagai tersangka utama. Penetapan itu dilakukan setelah gelar perkara di Polda NTB, disertai bukti awal berupa tali nilon, pakaian korban, dan sejumlah benda pribadi.
Publik mempertanyakan: mengapa waktu antara penemuan jenazah dan penetapan tersangka begitu panjang, padahal tanda kekerasan sudah terungkap sejak hasil visum keluar?
Sejumlah pemerhati hukum menilai bahwa penanganan yang lambat seperti ini dapat memunculkan kesan tidak profesional dan menurunkan kepercayaan publik terhadap transparansi penyidikan.
Dalam beberapa kesempatan konferensi pers, pejabat kepolisian menyebutkan bahwa kasus ini “berjalan transparan dan profesional.” Namun, minimnya informasi konkret yang dibuka ke publik justru menimbulkan persepsi sebaliknya.
Polisi belum mengungkap detail peran empat tersangka lain—masing-masing berinisial HS, DR, P, dan HN—serta belum menjelaskan motif pembunuhan secara utuh.
Keterangan yang disampaikan kepada media masih terbatas pada pernyataan umum, sementara publik berharap kepolisian menjelaskan apa latar belakang konflik rumah tangga yang berujung pada pembunuhan itu, dan sejauh mana peran para pembantu tersangka.
Dalam konteks keterbukaan publik, sejumlah kalangan menilai bahwa Polres Lombok Barat seharusnya lebih terbuka dalam menyampaikan perkembangan perkara, bukan hanya sebatas retorika “transparansi berjalan”.
Dalam laporan terakhir, satu barang bukti penting masih belum ditemukan. Kasatreskrim Polres Lobar bahkan mengakui hal tersebut di hadapan media, namun enggan membeberkan jenis barang bukti yang dimaksud.
Baca Juga : Imbas Kasus Kematian Brigadir Esco, Rumah Tersangka R di Lombok Barat Dirusak Massa
Kondisi ini memperkuat keraguan publik terhadap efektivitas penyidikan. Dalam kasus pembunuhan, kelengkapan bukti menjadi pondasi penting untuk memastikan kebenaran dan keadilan hukum. Ketika sebagian bukti belum ditemukan, wajar jika masyarakat bertanya-tanya: apa yang sebenarnya terjadi di balik meja penyidikan?
Puncak kekecewaan publik terjadi saat aksi massa dari Desa Bonjeruk mendatangi kediaman tersangka di Lembar pada 8 Oktober 2025. Massa menuntut kejelasan dan keadilan atas kematian Brigadir Esco, bahkan sempat melampiaskan emosi dengan merusak sejumlah rumah milik keluarga tersangka.
Aksi tersebut menggambarkan menurunnya kepercayaan publik terhadap kinerja penyidik. Kapolres Lombok Barat, AKBP Yasmara Harahap, memang segera turun tangan untuk menenangkan warga dan berjanji bahwa penyelidikan dilakukan secara profesional. Namun, janji itu kini kembali diuji oleh waktu dan fakta di lapangan.
Beberapa pengamat hukum di Mataram menyebut bahwa kasus Brigadir Esco bisa menjadi tolok ukur akuntabilitas Polri di daerah. Mereka menilai, jika penanganan perkara melibatkan anggota kepolisian sebagai pelaku dan korban, maka potensi benturan kepentingan harus diantisipasi dengan langkah ekstra transparan.
Keterlambatan dan tertutupnya informasi publik justru bisa memicu kecurigaan adanya proteksi internal. Oleh karena itu, mereka mendesak agar Polda NTB mengambil alih penuh penanganan kasus ini demi menjaga kepercayaan publik.
Kematian Brigadir Esco bukan sekadar kasus pidana biasa, tetapi juga menjadi ujian moral bagi integritas institusi kepolisian. Polres Lombok Barat kini memikul tanggung jawab besar untuk menunjukkan bahwa mereka benar-benar mampu menegakkan hukum tanpa pandang bulu—bahkan terhadap sesama anggota.
Transparansi bukan hanya soal membuka data, tapi juga tentang kejujuran dalam proses dan keberanian untuk menghadapi kritik publik.
Kasus kematian Brigadir Esco menyingkap dua hal penting: tragedi kemanusiaan dan krisis kepercayaan. Lambannya penanganan dan minimnya transparansi menjadi alarm bagi kepolisian daerah agar memperkuat sistem pengawasan internal dan komunikasi publik.
Masyarakat kini tidak sekadar menunggu hasil sidang, tetapi juga menunggu bukti nyata bahwa institusi penegak hukum masih mampu menjamin keadilan untuk semua — tanpa pengecualian.
